KISAH PARA ULAMA SALAF DALAM MENGHORMATI GURUNYA
Imam an-Nawawi mengatakan, “Para murid semestinya bersikap tawadhu’ dan beradab kepada gurunya meskipun gurunya lebih muda usianya, lebih tidak terkenal, lebih rendah nasabnya, dan lebih sedikit kebaikannya. Dengan ketwadhu’annya itualah dia akan memahami ilmu.”
Dalam hal ini Imam Ali bin Hasan Alattas menceritakan, bahwa al-Amin dan al-Ma’mun, dua putra Khalifah Harun ar-Rasyid, saling berbutan untuk menyiapkan sandal guru mereka, yaitu Imam al-Kisai, agar dapat memakaikan sandal itu pada gurunya. Maka berkatalah guru yang bijak itu, “Masing-masing meraih satu, agar sama-sama dapat menyiapkannya.”
Al-Imam asy-Sya’rani mengatakan, “Telah sampai kepada kami dari Syaikh Bahauddin as-Subki. Ia berkata, ‘Ketika aku sedang menaiki kendaraan bersama ayahku, yakni Syaikhul Islam Taqiyyuddin as-Subki, di suatu jalan di negeri Syam, tiba-tiba dia mendengar seorang petani Syam mengatakan, ‘Aku pernah bertanya kepada al-Faqih Muhyiddin an-Nawawi tentang masalah ini dan itu.’ Maka turunlah ayahku dari kudanya dan mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan mengendarai tunggangan ini sementara petani ini pernah memandang al-Imam Muhyiddin an-Nawawi!’ Kemudian dengan bersumpah kepada Allah meminta petani tersebut untuk mengendarai kuda, sedangkan dirinya berjalan sampai memasuki negeri Syam.”
Diriwayatkan juga bahwa ketika Imam as-Subki mengunjungi Darul Hadits bekas tempat mengajar Imam an-Nawawi di kota Damaskus, beliau melepas bajunya dan menempelkan badannya di sana sambil menyandungkan: “Di Darul Hadits terdapat makna yang lembut. Pada hamparannya aku merunduk dan tersungkur. Barangkali wajahku yang pendosa ini menyentuh tempat yang bersentuhan dengan telapak kaki an-Nawawi.”
Demikianlah para ulama menghormati para guru mereka, meskipun dia tidak menjumpainya gurunya karena jeda waktu beberapa tahun kematiannya.
~Sumber: Kitab al-Manhaj as-Sawiy, karya al-Allamah al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, (terj. 1/178-180).


