PEMBAGIAN STATUS ORANG-ORANG DALAM BERMUAMALAH

ثم اعٔلموا رحمكم الله :أنَّ النَّاسَ بِالنٍّسْبَة إلى المُعامَلة في اُمُورِ الدُّنيا على ثَلاثة أقسام
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata, “Ketahuilah wahai saudara kaum muslimin yang dirahmati Allah, bahwa keadaan status manusia dalam bermuamalah urusan duniawi terbagi pada tiga golongan. Yaitu: orang Saleh, orang yang tidak jelas kesalehannya, dan orang yang dikenal serampangan (tidak wara')”.
***
Al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad menegaskan bahwa keadaan dan status pelaku dalam bermuamalah urusan duniawi (transaksi ekonomi) terbagi pada tiga golongan.
Pertama. Orang-orang yang dalam kehidupan sehari-harinya sudah dikenal sebagai orang saleh, baik, atau wara’. Maka konsekwensi hukum bermuamalah dengan golongan ini diperbolehkan secara mutlak. Yakni ketika bermuamalah dengan golongan ini dalam kehidupan sehari-hari, entah apa itu berupa jual beli, pinjam meminjam, saling memberi, atau yang lainnya yang berkaitan dengan hubungan timbal balik urusan duniawi, itu diperbolehkan secara mutlak tanpa harus meneliti atau bertanya mengenai keadaan harta benda yang dimilikinya. Hal ini karena sudah diyakini kehalalan harta benda yang dimilikinya.
Kedua. Orang-orang yang tidak jelas status kesalehannya. Orang dalam golongan ini tidak diketahui dengan jelas, apakah dia termasuk orang saleh ataukah sebaliknya, orang yang fasik dan serampangan (tidak memperhatikan hukum halal haram). Hukum bermuamalah dengan orang ini juga diperbolehkan, akan tetapi disunnahkan agar meneliti dahulu atau bertanya-tanya dahulu dari mana harta benda yang dimilikinya. Apakah diperoleh dengan halal atau sebaliknya. Secara hukum fiqih tetap dihalalkan bermuamalah dengan golongan ini mengingat hartanya tidak jelas keharamannya.
Ketiga. Golongan orang-orang yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik, tidak wara’, atau serampangan tidak memperhatikan halal haram. Konsekuensi hukum bermuamalah dengan orang ini, dianjurkan bagi orang yang bertakwa agar menghindari orang golongan ini. Adapun ketika dalam kondisi darurat, yakni sangat membutuhkan bermuamalah dengan golongan ini, maka harus meneliti atau bertanya-tanya dahulu dari mana harta benda yang dimilikinya. Kalau ternyata diperoleh dengan halal, maka diperbolehkan bermuamalah dengan mereka.
Imam Ibnu al-Mubarak pernah ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab, “Kalau orang itu sumber hartanya hanya diperoleh dari penguasa atau pengusaha yang fasik, maka diharamkan bermuamalah dengan orang itu. Sedangkan kalau sumber hartanya juga diperoleh dari banyak golongan, fasiq atau lainnya, maka boleh bermuamalah dengan orang itu”.
~ Sumber: Pengajian Kitab An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Imâniyyah karya al-Imam al-Arif Billah Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad al-Hadrami asy-Syafii






