Cinta Suci dalam Keluarga

Sep 1, 2018 - 12:27
Sep 1, 2018 - 12:43
 0  974
Cinta Suci dalam Keluarga
Cinta Suci dalam Keluarga

Keluarga ibarat satu bangungan yang terdiri dari beberapa unsur, yang sengaja dipadukan dan didesain dengan sedemikian rupa, agar menjadi kokoh, indah dan nyaman. Oleh karena itu, untuk menyatukan dan memadukan unsur-unsur yang berbeda ini diperlukan perekat, yang bisa menjamin kekokohan dan keindahan itu sebagai hasilnya. Nah, dalam merekatkan dan mengokohkan bangunan rumah tangga, maka media perekat itu tak lain adalah cinta suci atau cinta sejati.

 

Lalu, apa itu cinta suci? Cinta yang suci itu adalah cinta yang didasarkan pada landasan karena Allah SWT. Cinta yang segala proses, mulai dari permulaan sampai akhiran, diusahakan dan dijalani sesuai dengan niatan yang diajarkan dan aturan yang ditetapkan oleh syariat Islam. Jadi jika ada perasaan cinta yang diungkapkan atau dijalani dengan tidak mengikuti aturan-aturan dari Allah SWT, tentu saja itu bukan cinta yang suci dan bukan cinta sejati. Cinta yang dijalani dengan pacaran, misalnya, atau orang sudah memiliki pasangan yang sah namun masih selingkuh dengan alasan cinta, sesungguhnya adalah penyimpangan cinta yang harus segera dihentikan.

 

Karena itu, hal pertama dan paling utama yang mesti dipahami oleh setiap suami/istri dalam rumah tangga adalah, bahwa cinta yang mereka bangun dalam sebuah keluarga itu didasarkan pada prinsip “karena Allah”. Seorang suami mencintai istinya karena Allah, begitupun istri mencintai suaminya karena Allah, sebab memang keduanya dipertemukan dan disatukan dengan ikatan suci berdasarkan syariat Allah SWT, dan keduanya telah bersumpah setia untuk menjalani kehidupan rumah tangga menurut ajaran dan aturan-aturan dalam agama Islam.

 

Nah, jika cinta telah terbangun di atas landasan yang kokoh dan suci, dengan cara menjalaninya sesuai dengan ajaran dan aturan dalam syariat Islam itu, maka pada perjalanan selanjutnya, masing-masing dari suami dan istri tentu akan berusaha memenuhi kewajibannya untuk mencari pahala dan ridha Allah SWT semata, sehingga meskipun seandainya perbuatan baiknya itu tak berbalas, cinta ini akan tetap kokoh, sebab sejak awal ia hanya mencari balasan dari Allah SWT, bukan balasan dari suami atau istri.

 

Misalnya, suami giat bekerja untuk menunaikan kewajibannya menafkahi keluarga, karena itu adalah kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya. Ia tidak akan mengeluh karena capek, dan tidak akan mudah kecewa ketika misalnya pulang kerja tidak disambut dengan sambutan yang hangat oleh istri, karena ia tidak mencari balasan dari manusia, dan ia memahami barangkali istrinya juga sedang capek. Begitu pula istri, akan sibuk memenuhi kewajibannya dalam menjaga, merawat dan mendidik anak, tanpa mengharapkan pujian dan balasan dari siapapun, selain keridhaan suami dan pahala dari Allah. Ia tidak akan mudah mengeluh dan kecewa karena anak-anaknya nakal atau sulit diatur, misalnya, karena dia tahu bahwa justru di situlah ia bisa beramal karena Allah; mendidik anak-anak agar menjadi generasi ibadillahish-shalihin.

 

Beda halnya jika cinta dalam keluarga tidak dibangun di atas landasan “karena Allah”. Cinta yang seperti ini sangat rapuh dan mudah runtuh. Dengan sedikit saja kekurangan atau ketidak cocokan dari salah satu pihak, itu sudah lebih dari cukup untuk mengikis sedikit demi sedikit perasaan cintanya. Dalam keadaan yang seperti ini, biasanya reaksi yang muncul bukannya berusaha membenahi kekurangan itu dengan sabar dan penuh kasih sayang, akan tetapi yang dikedepankan malah emosi, perasaan muak dan benci. Akibat dari hal tersebut tentu adalah rusaknya jalinan cinta dan kasih sayang, yang kerap berakhir pada runtuhnya bangunan rumah tangga.

 

==
Achyat Ahmad/SP

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow