HIKMAH MERAWAT ANAK YATIM MESKIPUN YANG SUDAH KAYA
Sebagai Umat Islam, kita dituntut untuk berempati terhadap anak yatim, tidak hanya perihal makan, minum dan pakaiannya saja, namun kasih sayang dan cinta guna menumbuhkan semangat setelah mentalnya teruji dengan ditinggal pergi oleh ayahnya.
Lantas, bagaimana jika anak yatim itu sudah kaya dan tidak lagi membutuhkan santunan berupa uang, makanan, dan pakaian?
Berikut ini penjelasan Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya.
Kewajiban menyantuni anak yatim menurut Syekh Mutawalli Sya’rawi, tidak memiliki hubungan antara kaya dan miskin, butuh dan cukup. Karenanya, dalam Al-Qur’an Allah swt tidak membedakan antara anak yatim yang miskin dan yang kaya. Al-Qur’an hanya menyebutkan perihal kewajiban merawat mereka, dan jika mereka memiliki harta yang banyak, maka orang yang merawatnya harus menjaga harta tersebut, Allah swt berfirman:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (QS An-Nisa’ [4]: 2).
Dalam ayat lain, Allah berfirman yang artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!’ Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan.” (QS Al-Baqarah [2]: 220).
Dua ayat ini serta beberapa ayat lainnya tidak membedakan antara anak yatim yang kaya dan yang miskin. Hanya saja, jika seandainya dari mereka ada yang memiliki harta, maka jangan sampai harta itu diambil, dirusak, atau dimakan, namun harus dijaga untuk diserahkan kembali ketika mereka sudah baligh.
Menurut Syekh Mutawalli Sya’rawi, kebutuhan anak yatim tidak hanya soal kebutuhan hidup saja, namun juga dukungan dan semangat sepeninggal ayahnya:
“Dan kita semua tahu bahwa anak-anak yatim terkadang tidak masuk dalam kategori orang-orang yang butuh, namun Allah memberikan peringatan kepada kita bahwa persoalan anak yatim tidak hanya tentang persoalan makanan saja, namun juga kebutuhan untuk menggantikan tanggung jawab setelah ditinggal pergi oleh ayahnya.” (Syekh Sya’rawi, Tafsir wa Khawathirul Qur’an al-Karim lisy Sya’rawi, [1997], juz I, halaman 591).
Disamping itu, alasan di balik kewajiban merawat anak yatim, baik yang kaya maupun yang miskin, yaitu agar mereka tidak iri pada anak-anak sebayanya yang tidak yatim.
Tanggung jawab dan empati dari setiap orang kepada mereka akan menjadikan mereka merasa bahwa hidupnya masih memiliki sandaran sebagai pengganti ayahnya.
“Dengan cara seperti itu, maka akan mencegah dirinya dari iri kepada anak-anak kecil yang tidak ditinggal wafat ayahnya. Dan ketika anak yatim tahu bahwa semua orang adalah (pengganti) ayahnya, maka ia akan merasa dirawat.”
Sumber: Sunnatullah, https://nu.or.id/